Ayyuhal Ikhwah wal akhawat,
Menjadi murabbi merupakan nikmat tersendiri dalam berdakwah. Karena dengan begitu kita telah melengkapi kedua sisi tarbiyah yang padu: membina dan dibina. Pun begitu, menjadi murabbi bukan berarti kita telah sampai di puncak tarbiyah dan lantas melupakan sifat dasar untuk terus belajar. Maka dari itu, murabbi yang baik adalah murabbi yang memiliki semangat untuk terus belajar, sehingga terhindar dari kejumudan atau kekakuan berpikir.
Hendaknya kita juga belajar mengenal mutarabbi (binaan) kita secara mendalam dan objektif. Juga mendudukkan mereka sebagaimana mestinya, mendengar dan mempertimbangkan suaranya, serta menghargai keberadaannya. Bagaimanapun objek tarbiyah dan dakwah ini adalah manusia. Maka sudah sepatutnya kita memanusiakan mereka, bukan menganggap mereka milik kita yang bisa kita perlakukan apa saja tanpa dasar yang syar’i.
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai murabbi untuk mengarahkan mereka kepada perbaikan dan kebaikan. Karena memang tujuan tarbiyah (baca: halaqah) adalah menggiring seseorang untuk menjadi seorang muslim yang saleh dan muslih. Lebih jelas lagi dalam buku “114 Tips Menjadi Murabbi Sukses”, Ustadz Satria Hadi Lubis menyebutkan empat poin yang menjadi tujuan halaqah:
Tercapainya sepuluh muwashafat tarbiyah
Tercapainya ukhuwah islamiyah
Tercapainya produktivitas dakwah
Tercapainya pengembangan potensi mad’u (binaan)
Ketika memahami tujuan ini, kita tentu sadar bahwa semakin jauh keterlibatan binaan kita dalam tarbiyah akan membawanya pada kesadaran untuk lebih produktif dalam berdakwah. Karena dakwah adalah kewajiban sekaligus hak mereka untuk memenuhi kebutuhan tarbiyah mereka. Tak elok rasanya jika kita membatasi mereka dalam hal kebaikan, seperti melarang binaan kita untuk aktif di kampus dengan maksud agar mereka bisa lebih fokus di dakwah sekolah. Apalagi sebelumnya kita belum menanyakan kecenderungan mereka bagaimana.
Kita memahami bahwa di manapun, baik sekolah dan kampus, sama-sama memerlukan SDM sebagai penggerak roda dakwahnya. Untuk itu biarkan mereka berkembang, mempelajari medan dakwah kampus dengan terlibat di dalamnya. Karena di sinilah letak pembelajaran bagi mereka untuk menjadi lebih dewasa dalam menyikapi perubahan iklim dakwah yang berbeda dengan dakwah sekolah.
Biarlah mereka melebarkan sayap dakwah di manapun mereka berada. Karena itu baik untuk mereka. Tugas kita adalah menguatkan mereka, bukan melemahkan dengan melarang mereka aktif di kampus. Kalaupun kita khawatir nantinya mereka tidak fokus dan lemah untuk memegang amanah lebih, di situlah kita harusnya mengarahkan mereka agar dapat konsisten dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap konsekuensi pilihan-pilihan mereka. Biarkan mereka mengambil keputusan sendiri tanpa perlu kita intervensi.
Bagaimana kalau mereka salah ambil keputusan? Saat itulah mereka belajar. Seperti kata Mario Teguh, “Karena lebih cepat seseorang merasakan kesalahan, lebih cepat pula ia belajar untuk menjadi benar.” Bayangkan jika kita menjadi orang tua, lalu anak bayi kita selalu kita gendong karena tidak tega melihatnya terjatuh ketika belajar berjalan. Alhasil, sampai dewasa pun mereka tidak akan bisa berjalan. Oleh sebab itu, selama dalam ranah kebaikan biarkan saja mereka berekspresi seoptimal mungkin.
“Murabbi harus mendidik binaannya agar memahami cara beramal jama’i atau tabiat amal dalam sebuah jama’ah serta tuntutan-tuntutan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar terjamin keselamatan dalam perjalanan, potensi tersatukan, dan produktivitas dapat ditingkatkan.” [Mustafa Masyhur]
Ya, kita perlu menanamkan kepemahaman kepada mereka, bukan menyuntikkan paham ketaatan yang dibangun melalui taklid buta atau mengultuskan murabbi. Jika begitu, mereka akan berpikir murabbi adalah segalanya dan apa yang dikatakan murabbi adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Hal ini selaras dengan yang disampaikan Ustadz Eko Novianto dalam bukunya “Sudahkah Kita Tarbiyah?” terkait beberapa hal yang menjadi penyebab kegagalan tarbiyah:
Tarbiyah dipandang semata-mata sebagai transfer materi.
Persepsi bahwa murabbi adalah segalanya bagi mad’u. Rasanya aib jika mad’u memiliki kompetensi yang lebih baik daripada murabbi dalam beberapa bidang.
Tarbiyah dianggap sebagai proses indoktrinasi dan dominasi. Murabbi mempersepsikan keberhasilan tarbiyah adalah ketika mad’u memiliki ‘kesetiaan’ dan menjadi pendukung murabbi.
Sistematika dan metodologi tarbiyah dipersepsikan sebagai hal yang baku.
Kecenderungan untuk melakukan ‘kloning’ murabbi. Sehingga yang menjadi muwashafat adalah apakah mad’u memiliki hobi, selera, atau kecenderungan yang sama dengan murabbi-nya atau belum.
Sekali lagi, kita hanya mengarahkan. Itu pun dengan dialog yang ahsan dengan mereka. Bukan semerta-merta melarang mereka aktif di kampus tanpa disertai alasan yang jelas. Jangan sampai diri kita membina, namun orientasinya agar binaan kita bisa aktif di tempat tertentu. Tapi pikirkanlah bagaimana kita membina, sehingga binaan kita dapat produktif berdakwah di manapun mereka berada. Baik di sekolah, di kampus, di keluarga, hingga di masyarakat. Karena kita hendak membangun seorang muslim yang da’i, bukan muslim yang hanya aktivis dakwah sekolah.
Kalaupun mereka merasa sanggup berdiri di dua kaki dakwah, mengapa kita harus mengamputasi kemampuan mereka? Bukankah dakwah kampus akan menjadikan binaan kita lebih berkembang nantinya?
Jangan sampai mereka merasa sulit berdakwah lantaran kita kurang peka dan subjektif dalam menilai mereka. Selama mereka mampu memberikan kontribusi yang terbaik di jalan dakwah ini, kitalah yang seharusnya berada di garis terdepan untuk mendukung mereka, bukan malah melarang mereka.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran (3): 159]
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” [QS. An-Nahl (16): 125]
Di sisi lain, kita memang memiliki hak untuk ditaati dan di-tsiqah-i oleh binaan kita. Karena bagaimanapun, selain sebagai guru dan sahabat, diri kita juga berperan sebagai pemimpin dan orang tua bagi mereka. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika kita kurang bisa menempatkan hak dan kewajiban kita sebagai murabbi secara proporsional. Apalagi memanfaatkan hak ini untuk menyalurkan keegoisan pribadi yang tidak syar’i.
Ketika kita membangun kepemahaman dan cara berpikir yang benar kepada binaan kita, insya Allah ketaatan dan ke-tsiqah-an akan terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu kita minta. Mereka pun mengerti seperti apa arahan kita yang perlu ditaati dan mana yang perlu dikritisi.
Sekali lagi Ustadz Satria Hadi Lubis menuturkan, “Budaya kritik harus ditumbuhkan secara timbal balik dalam halaqah. Bukan hanya Anda yang berani mengkritik mad’u, tapi juga mad’u berani mengkritik murabbi-nya. Namun budaya kritik ini perlu dilakukan dalam suasana kasih sayang, kebenaran dan kesabaran. Seringkali budaya kritik ini padam dalam halaqah karena sikap murabbi yang otoriter, posesif, merasa diri paling benar dan cepat tersinggung jika dikritik. Akhirnya, mad’u jadi enggan mengkritik murabbi-nya. Apa akibatnya?
Akibatnya, mad’u menjadi orang yang tidak percaya diri mengkritik dan menyampaikan pendapat. Murabbi juga menjadi tidak tahu diri. Tidak tahu apakah dirinya benar atau salah dalam membina mad’u-nya. Tidak tahu apakah dirinya peduli atau tidak dengan orang lain. Juga tidak tahu apakah dirinya berada dalam kebenaran atau tidak. Selama tidak bertentangan dengan syar’i, mad’u wajib mentaati murabbi-nya, walau bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Namun perlu diingat! Bahwa ketaatan mad’u kepada Anda bukan berarti menutup koridor musyawarah, saran dan kritik. Hal itu tetap perlu dijalankan agar keputusan Anda lebih bijaksana. Dengan mad’u taat kepada Anda, maka Anda lebih mudah untuk membina, mengarahkan, menasihati, dan memobilisasi mereka untuk kepentingan dakwah dan jama’ah.”
“Sangat bermanfaat bila al akh murabbi memberi kesempatan kepada binaan untuk bertanya dan meminta penjelasan, meminta agar tiada seorang pun dari mereka menyimpan sesuatu yang mengganggu jiwanya tanpa berusaha meminta penjelasan tentangnya, dan memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya empat mata bagi yang menghendaki, agar tiada rasa tidak enak”. [Musthafa Masyhur]
Ketika kita diberi nikmat oleh Allah SWT untuk menjadi murabbi, hendaknya kita memahami bahwa binaan kita hanyalah titipan, bukan kepunyaan. Saat halaqah berlangsung, bukan hanya binaan kita yang ter-tarbiyah, tetapi diri kita juga berproses untuk lebih bersabar, bijaksana, dan dewasa dalam membina.
Sudah semestinya kita bisa menempatkan cinta dan perhatian kita kepada binaan secara proporsional. Karena cinta butuh jarak yang tepat untuk berekspresi. Ia tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu dekat. Tidak cuek tapi tidak juga otoriter.
Layaknya mencintai bunga mawar. Janganlah kita petik dengan alasan ingin melindunginya. Karena dengan begitu, kitalah yang sesungguhnya menghancurkan mawar tersebut. Tapi buatlah pagar di sekelilingnya, agar tidak ada hewan atau orang-orang yang hendak merusaknya. Kemudian siramilah ia dengan sabar agar ia dapat tumbuh dengan indah dan mampu berdiaspora dengan baik.
Allahu a’lam…
Rujukan : http://www.dakwatuna.com/2012/03/19519/ketika-murabbi-melarang-binaannya-aktif-di-kampus/
Menjadi murabbi merupakan nikmat tersendiri dalam berdakwah. Karena dengan begitu kita telah melengkapi kedua sisi tarbiyah yang padu: membina dan dibina. Pun begitu, menjadi murabbi bukan berarti kita telah sampai di puncak tarbiyah dan lantas melupakan sifat dasar untuk terus belajar. Maka dari itu, murabbi yang baik adalah murabbi yang memiliki semangat untuk terus belajar, sehingga terhindar dari kejumudan atau kekakuan berpikir.
Hendaknya kita juga belajar mengenal mutarabbi (binaan) kita secara mendalam dan objektif. Juga mendudukkan mereka sebagaimana mestinya, mendengar dan mempertimbangkan suaranya, serta menghargai keberadaannya. Bagaimanapun objek tarbiyah dan dakwah ini adalah manusia. Maka sudah sepatutnya kita memanusiakan mereka, bukan menganggap mereka milik kita yang bisa kita perlakukan apa saja tanpa dasar yang syar’i.
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai murabbi untuk mengarahkan mereka kepada perbaikan dan kebaikan. Karena memang tujuan tarbiyah (baca: halaqah) adalah menggiring seseorang untuk menjadi seorang muslim yang saleh dan muslih. Lebih jelas lagi dalam buku “114 Tips Menjadi Murabbi Sukses”, Ustadz Satria Hadi Lubis menyebutkan empat poin yang menjadi tujuan halaqah:
Tercapainya sepuluh muwashafat tarbiyah
Tercapainya ukhuwah islamiyah
Tercapainya produktivitas dakwah
Tercapainya pengembangan potensi mad’u (binaan)
Ketika memahami tujuan ini, kita tentu sadar bahwa semakin jauh keterlibatan binaan kita dalam tarbiyah akan membawanya pada kesadaran untuk lebih produktif dalam berdakwah. Karena dakwah adalah kewajiban sekaligus hak mereka untuk memenuhi kebutuhan tarbiyah mereka. Tak elok rasanya jika kita membatasi mereka dalam hal kebaikan, seperti melarang binaan kita untuk aktif di kampus dengan maksud agar mereka bisa lebih fokus di dakwah sekolah. Apalagi sebelumnya kita belum menanyakan kecenderungan mereka bagaimana.
Kita memahami bahwa di manapun, baik sekolah dan kampus, sama-sama memerlukan SDM sebagai penggerak roda dakwahnya. Untuk itu biarkan mereka berkembang, mempelajari medan dakwah kampus dengan terlibat di dalamnya. Karena di sinilah letak pembelajaran bagi mereka untuk menjadi lebih dewasa dalam menyikapi perubahan iklim dakwah yang berbeda dengan dakwah sekolah.
Biarlah mereka melebarkan sayap dakwah di manapun mereka berada. Karena itu baik untuk mereka. Tugas kita adalah menguatkan mereka, bukan melemahkan dengan melarang mereka aktif di kampus. Kalaupun kita khawatir nantinya mereka tidak fokus dan lemah untuk memegang amanah lebih, di situlah kita harusnya mengarahkan mereka agar dapat konsisten dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap konsekuensi pilihan-pilihan mereka. Biarkan mereka mengambil keputusan sendiri tanpa perlu kita intervensi.
Bagaimana kalau mereka salah ambil keputusan? Saat itulah mereka belajar. Seperti kata Mario Teguh, “Karena lebih cepat seseorang merasakan kesalahan, lebih cepat pula ia belajar untuk menjadi benar.” Bayangkan jika kita menjadi orang tua, lalu anak bayi kita selalu kita gendong karena tidak tega melihatnya terjatuh ketika belajar berjalan. Alhasil, sampai dewasa pun mereka tidak akan bisa berjalan. Oleh sebab itu, selama dalam ranah kebaikan biarkan saja mereka berekspresi seoptimal mungkin.
“Murabbi harus mendidik binaannya agar memahami cara beramal jama’i atau tabiat amal dalam sebuah jama’ah serta tuntutan-tuntutan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar terjamin keselamatan dalam perjalanan, potensi tersatukan, dan produktivitas dapat ditingkatkan.” [Mustafa Masyhur]
Ya, kita perlu menanamkan kepemahaman kepada mereka, bukan menyuntikkan paham ketaatan yang dibangun melalui taklid buta atau mengultuskan murabbi. Jika begitu, mereka akan berpikir murabbi adalah segalanya dan apa yang dikatakan murabbi adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Hal ini selaras dengan yang disampaikan Ustadz Eko Novianto dalam bukunya “Sudahkah Kita Tarbiyah?” terkait beberapa hal yang menjadi penyebab kegagalan tarbiyah:
Tarbiyah dipandang semata-mata sebagai transfer materi.
Persepsi bahwa murabbi adalah segalanya bagi mad’u. Rasanya aib jika mad’u memiliki kompetensi yang lebih baik daripada murabbi dalam beberapa bidang.
Tarbiyah dianggap sebagai proses indoktrinasi dan dominasi. Murabbi mempersepsikan keberhasilan tarbiyah adalah ketika mad’u memiliki ‘kesetiaan’ dan menjadi pendukung murabbi.
Sistematika dan metodologi tarbiyah dipersepsikan sebagai hal yang baku.
Kecenderungan untuk melakukan ‘kloning’ murabbi. Sehingga yang menjadi muwashafat adalah apakah mad’u memiliki hobi, selera, atau kecenderungan yang sama dengan murabbi-nya atau belum.
Sekali lagi, kita hanya mengarahkan. Itu pun dengan dialog yang ahsan dengan mereka. Bukan semerta-merta melarang mereka aktif di kampus tanpa disertai alasan yang jelas. Jangan sampai diri kita membina, namun orientasinya agar binaan kita bisa aktif di tempat tertentu. Tapi pikirkanlah bagaimana kita membina, sehingga binaan kita dapat produktif berdakwah di manapun mereka berada. Baik di sekolah, di kampus, di keluarga, hingga di masyarakat. Karena kita hendak membangun seorang muslim yang da’i, bukan muslim yang hanya aktivis dakwah sekolah.
Kalaupun mereka merasa sanggup berdiri di dua kaki dakwah, mengapa kita harus mengamputasi kemampuan mereka? Bukankah dakwah kampus akan menjadikan binaan kita lebih berkembang nantinya?
Jangan sampai mereka merasa sulit berdakwah lantaran kita kurang peka dan subjektif dalam menilai mereka. Selama mereka mampu memberikan kontribusi yang terbaik di jalan dakwah ini, kitalah yang seharusnya berada di garis terdepan untuk mendukung mereka, bukan malah melarang mereka.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran (3): 159]
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” [QS. An-Nahl (16): 125]
Di sisi lain, kita memang memiliki hak untuk ditaati dan di-tsiqah-i oleh binaan kita. Karena bagaimanapun, selain sebagai guru dan sahabat, diri kita juga berperan sebagai pemimpin dan orang tua bagi mereka. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika kita kurang bisa menempatkan hak dan kewajiban kita sebagai murabbi secara proporsional. Apalagi memanfaatkan hak ini untuk menyalurkan keegoisan pribadi yang tidak syar’i.
Ketika kita membangun kepemahaman dan cara berpikir yang benar kepada binaan kita, insya Allah ketaatan dan ke-tsiqah-an akan terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu kita minta. Mereka pun mengerti seperti apa arahan kita yang perlu ditaati dan mana yang perlu dikritisi.
Sekali lagi Ustadz Satria Hadi Lubis menuturkan, “Budaya kritik harus ditumbuhkan secara timbal balik dalam halaqah. Bukan hanya Anda yang berani mengkritik mad’u, tapi juga mad’u berani mengkritik murabbi-nya. Namun budaya kritik ini perlu dilakukan dalam suasana kasih sayang, kebenaran dan kesabaran. Seringkali budaya kritik ini padam dalam halaqah karena sikap murabbi yang otoriter, posesif, merasa diri paling benar dan cepat tersinggung jika dikritik. Akhirnya, mad’u jadi enggan mengkritik murabbi-nya. Apa akibatnya?
Akibatnya, mad’u menjadi orang yang tidak percaya diri mengkritik dan menyampaikan pendapat. Murabbi juga menjadi tidak tahu diri. Tidak tahu apakah dirinya benar atau salah dalam membina mad’u-nya. Tidak tahu apakah dirinya peduli atau tidak dengan orang lain. Juga tidak tahu apakah dirinya berada dalam kebenaran atau tidak. Selama tidak bertentangan dengan syar’i, mad’u wajib mentaati murabbi-nya, walau bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Namun perlu diingat! Bahwa ketaatan mad’u kepada Anda bukan berarti menutup koridor musyawarah, saran dan kritik. Hal itu tetap perlu dijalankan agar keputusan Anda lebih bijaksana. Dengan mad’u taat kepada Anda, maka Anda lebih mudah untuk membina, mengarahkan, menasihati, dan memobilisasi mereka untuk kepentingan dakwah dan jama’ah.”
“Sangat bermanfaat bila al akh murabbi memberi kesempatan kepada binaan untuk bertanya dan meminta penjelasan, meminta agar tiada seorang pun dari mereka menyimpan sesuatu yang mengganggu jiwanya tanpa berusaha meminta penjelasan tentangnya, dan memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya empat mata bagi yang menghendaki, agar tiada rasa tidak enak”. [Musthafa Masyhur]
Ketika kita diberi nikmat oleh Allah SWT untuk menjadi murabbi, hendaknya kita memahami bahwa binaan kita hanyalah titipan, bukan kepunyaan. Saat halaqah berlangsung, bukan hanya binaan kita yang ter-tarbiyah, tetapi diri kita juga berproses untuk lebih bersabar, bijaksana, dan dewasa dalam membina.
Sudah semestinya kita bisa menempatkan cinta dan perhatian kita kepada binaan secara proporsional. Karena cinta butuh jarak yang tepat untuk berekspresi. Ia tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu dekat. Tidak cuek tapi tidak juga otoriter.
Layaknya mencintai bunga mawar. Janganlah kita petik dengan alasan ingin melindunginya. Karena dengan begitu, kitalah yang sesungguhnya menghancurkan mawar tersebut. Tapi buatlah pagar di sekelilingnya, agar tidak ada hewan atau orang-orang yang hendak merusaknya. Kemudian siramilah ia dengan sabar agar ia dapat tumbuh dengan indah dan mampu berdiaspora dengan baik.
Allahu a’lam…
Rujukan : http://www.dakwatuna.com/
0 ulasan:
Catat Ulasan