KETIKA MURABBI MELARANG BINAANNYA AKTIF DI KAMPUS


Ayyuhal Ikhwah wal akhawat,

Menjadi murabbi merupakan nikmat tersendiri dalam berdakwah. Karena dengan begitu kita telah melengkapi kedua sisi tarbiyah yang padu: membina dan dibina. Pun begitu, menjadi murabbi bukan berarti kita telah sampai di puncak tarbiyah dan lantas melupakan sifat dasar untuk terus belajar. Maka dari itu, murabbi yang baik adalah murabbi yang memiliki semangat untuk terus belajar, sehingga terhindar dari kejumudan atau kekakuan berpikir.


Hendaknya kita juga belajar mengenal mutarabbi (binaan) kita secara mendalam dan objektif. Juga mendudukkan mereka sebagaimana mestinya, mendengar dan mempertimbangkan suaranya, serta menghargai keberadaannya. Bagaimanapun objek tarbiyah dan dakwah ini adalah manusia. Maka sudah sepatutnya kita memanusiakan mereka, bukan menganggap mereka milik kita yang bisa kita perlakukan apa saja tanpa dasar yang syar’i.

Sudah menjadi kewajiban kita sebagai murabbi untuk mengarahkan mereka kepada perbaikan dan kebaikan. Karena memang tujuan tarbiyah (baca: halaqah) adalah menggiring seseorang untuk menjadi seorang muslim yang saleh dan muslih. Lebih jelas lagi dalam buku “114 Tips Menjadi Murabbi Sukses”, Ustadz Satria Hadi Lubis menyebutkan empat poin yang menjadi tujuan halaqah:

Tercapainya sepuluh muwashafat tarbiyah
Tercapainya ukhuwah islamiyah
Tercapainya produktivitas dakwah
Tercapainya pengembangan potensi mad’u (binaan)

Ketika memahami tujuan ini, kita tentu sadar bahwa semakin jauh keterlibatan binaan kita dalam tarbiyah akan membawanya pada kesadaran untuk lebih produktif dalam berdakwah. Karena dakwah adalah kewajiban sekaligus hak mereka untuk memenuhi kebutuhan tarbiyah mereka. Tak elok rasanya jika kita membatasi mereka dalam hal kebaikan, seperti melarang binaan kita untuk aktif di kampus dengan maksud agar mereka bisa lebih fokus di dakwah sekolah. Apalagi sebelumnya kita belum menanyakan kecenderungan mereka bagaimana.

Kita memahami bahwa di manapun, baik sekolah dan kampus, sama-sama memerlukan SDM sebagai penggerak roda dakwahnya. Untuk itu biarkan mereka berkembang, mempelajari medan dakwah kampus dengan terlibat di dalamnya. Karena di sinilah letak pembelajaran bagi mereka untuk menjadi lebih dewasa dalam menyikapi perubahan iklim dakwah yang berbeda dengan dakwah sekolah.

Biarlah mereka melebarkan sayap dakwah di manapun mereka berada. Karena itu baik untuk mereka. Tugas kita adalah menguatkan mereka, bukan melemahkan dengan melarang mereka aktif di kampus. Kalaupun kita khawatir nantinya mereka tidak fokus dan lemah untuk memegang amanah lebih, di situlah kita harusnya mengarahkan mereka agar dapat konsisten dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap konsekuensi pilihan-pilihan mereka. Biarkan mereka mengambil keputusan sendiri tanpa perlu kita intervensi.

Bagaimana kalau mereka salah ambil keputusan? Saat itulah mereka belajar. Seperti kata Mario Teguh, “Karena lebih cepat seseorang merasakan kesalahan, lebih cepat pula ia belajar untuk menjadi benar.” Bayangkan jika kita menjadi orang tua, lalu anak bayi kita selalu kita gendong karena tidak tega melihatnya terjatuh ketika belajar berjalan. Alhasil, sampai dewasa pun mereka tidak akan bisa berjalan. Oleh sebab itu, selama dalam ranah kebaikan biarkan saja mereka berekspresi seoptimal mungkin.

“Murabbi harus mendidik binaannya agar memahami cara beramal jama’i atau tabiat amal dalam sebuah jama’ah serta tuntutan-tuntutan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar terjamin keselamatan dalam perjalanan, potensi tersatukan, dan produktivitas dapat ditingkatkan.” [Mustafa Masyhur]

Ya, kita perlu menanamkan kepemahaman kepada mereka, bukan menyuntikkan paham ketaatan yang dibangun melalui taklid buta atau mengultuskan murabbi. Jika begitu, mereka akan berpikir murabbi adalah segalanya dan apa yang dikatakan murabbi adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

Hal ini selaras dengan yang disampaikan Ustadz Eko Novianto dalam bukunya “Sudahkah Kita Tarbiyah?” terkait beberapa hal yang menjadi penyebab kegagalan tarbiyah:

Tarbiyah dipandang semata-mata sebagai transfer materi.
Persepsi bahwa murabbi adalah segalanya bagi mad’u. Rasanya aib jika mad’u memiliki kompetensi yang lebih baik daripada murabbi dalam beberapa bidang.
Tarbiyah dianggap sebagai proses indoktrinasi dan dominasi. Murabbi mempersepsikan keberhasilan tarbiyah adalah ketika mad’u memiliki ‘kesetiaan’ dan menjadi pendukung murabbi.
Sistematika dan metodologi tarbiyah dipersepsikan sebagai hal yang baku.
Kecenderungan untuk melakukan ‘kloning’ murabbi. Sehingga yang menjadi muwashafat adalah apakah mad’u memiliki hobi, selera, atau kecenderungan yang sama dengan murabbi-nya atau belum.

Sekali lagi, kita hanya mengarahkan. Itu pun dengan dialog yang ahsan dengan mereka. Bukan semerta-merta melarang mereka aktif di kampus tanpa disertai alasan yang jelas. Jangan sampai diri kita membina, namun orientasinya agar binaan kita bisa aktif di tempat tertentu. Tapi pikirkanlah bagaimana kita membina, sehingga binaan kita dapat produktif berdakwah di manapun mereka berada. Baik di sekolah, di kampus, di keluarga, hingga di masyarakat. Karena kita hendak membangun seorang muslim yang da’i, bukan muslim yang hanya aktivis dakwah sekolah.

Kalaupun mereka merasa sanggup berdiri di dua kaki dakwah, mengapa kita harus mengamputasi kemampuan mereka? Bukankah dakwah kampus akan menjadikan binaan kita lebih berkembang nantinya?

Jangan sampai mereka merasa sulit berdakwah lantaran kita kurang peka dan subjektif dalam menilai mereka. Selama mereka mampu memberikan kontribusi yang terbaik di jalan dakwah ini, kitalah yang seharusnya berada di garis terdepan untuk mendukung mereka, bukan malah melarang mereka.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran (3): 159]

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” [QS. An-Nahl (16): 125]

Di sisi lain, kita memang memiliki hak untuk ditaati dan di-tsiqah-i oleh binaan kita. Karena bagaimanapun, selain sebagai guru dan sahabat, diri kita juga berperan sebagai pemimpin dan orang tua bagi mereka. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika kita kurang bisa menempatkan hak dan kewajiban kita sebagai murabbi secara proporsional. Apalagi memanfaatkan hak ini untuk menyalurkan keegoisan pribadi yang tidak syar’i.

Ketika kita membangun kepemahaman dan cara berpikir yang benar kepada binaan kita, insya Allah ketaatan dan ke-tsiqah-an akan terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu kita minta. Mereka pun mengerti seperti apa arahan kita yang perlu ditaati dan mana yang perlu dikritisi.

Sekali lagi Ustadz Satria Hadi Lubis menuturkan, “Budaya kritik harus ditumbuhkan secara timbal balik dalam halaqah. Bukan hanya Anda yang berani mengkritik mad’u, tapi juga mad’u berani mengkritik murabbi-nya. Namun budaya kritik ini perlu dilakukan dalam suasana kasih sayang, kebenaran dan kesabaran. Seringkali budaya kritik ini padam dalam halaqah karena sikap murabbi yang otoriter, posesif, merasa diri paling benar dan cepat tersinggung jika dikritik. Akhirnya, mad’u jadi enggan mengkritik murabbi-nya. Apa akibatnya?

Akibatnya, mad’u menjadi orang yang tidak percaya diri mengkritik dan menyampaikan pendapat. Murabbi juga menjadi tidak tahu diri. Tidak tahu apakah dirinya benar atau salah dalam membina mad’u-nya. Tidak tahu apakah dirinya peduli atau tidak dengan orang lain. Juga tidak tahu apakah dirinya berada dalam kebenaran atau tidak. Selama tidak bertentangan dengan syar’i, mad’u wajib mentaati murabbi-nya, walau bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Namun perlu diingat! Bahwa ketaatan mad’u kepada Anda bukan berarti menutup koridor musyawarah, saran dan kritik. Hal itu tetap perlu dijalankan agar keputusan Anda lebih bijaksana. Dengan mad’u taat kepada Anda, maka Anda lebih mudah untuk membina, mengarahkan, menasihati, dan memobilisasi mereka untuk kepentingan dakwah dan jama’ah.”

“Sangat bermanfaat bila al akh murabbi memberi kesempatan kepada binaan untuk bertanya dan meminta penjelasan, meminta agar tiada seorang pun dari mereka menyimpan sesuatu yang mengganggu jiwanya tanpa berusaha meminta penjelasan tentangnya, dan memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya empat mata bagi yang menghendaki, agar tiada rasa tidak enak”. [Musthafa Masyhur]

Ketika kita diberi nikmat oleh Allah SWT untuk menjadi murabbi, hendaknya kita memahami bahwa binaan kita hanyalah titipan, bukan kepunyaan. Saat halaqah berlangsung, bukan hanya binaan kita yang ter-tarbiyah, tetapi diri kita juga berproses untuk lebih bersabar, bijaksana, dan dewasa dalam membina.

Sudah semestinya kita bisa menempatkan cinta dan perhatian kita kepada binaan secara proporsional. Karena cinta butuh jarak yang tepat untuk berekspresi. Ia tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu dekat. Tidak cuek tapi tidak juga otoriter.

Layaknya mencintai bunga mawar. Janganlah kita petik dengan alasan ingin melindunginya. Karena dengan begitu, kitalah yang sesungguhnya menghancurkan mawar tersebut. Tapi buatlah pagar di sekelilingnya, agar tidak ada hewan atau orang-orang yang hendak merusaknya. Kemudian siramilah ia dengan sabar agar ia dapat tumbuh dengan indah dan mampu berdiaspora dengan baik.

Allahu a’lam…


Rujukan :
http://www.dakwatuna.com/2012/03/19519/ketika-murabbi-melarang-binaannya-aktif-di-kampus/

BUAT INSAN YANG BERNAMA ANAK...


Anakku...
ketika aku semakin tua,,
aku berharap kamu memahami dan memiliki kesabaran untukku

suatu ketika aku memecahkan piring,
atau menumpahkan sup diatas meja, karena penglihatanku berkurang
aku harap kamu tidak memarahiku
orang tua itu sensitif,,,
selalu merasa bersalah saat kamu berteriak

Ketika pendengaranku semakin memburuk,
dan aku tidak bisa mendengar apa ayang kamu katakan,
aku harap kamu tidak memanggilku "Tuli!"
mohon ulangi apa yang kamu katakan atau menuliskannya
Maaf, anakku... aku semakin tua

Ketika lututku mulai lemah,
aku harap kamu memiliki kesabaran untuk membantuku bangun
seperti bagaimana aku selalu membantu kamu saat kamu masih kecil, untuk belajar berjalan
aku mohon, jangan bosan denganku

Ketika aku terus mengulangi apa yang ku katakan,
seperti kaset rusak
aku harap kamu terus mendengarkan aku
tolong jangan mengejekku, atau bosan mendengarkanku
apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil
dan kamu ingin sebuah balon?
kamu mengulangi apa yang kamu mau berulang-ulang
sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.

Maafkan juga bauku...
tercium seperti orang yang sudah tua
aku mohon jangan memaksaku untuk mandi
tubuhku lemah.....
Orang tua mudah sakit karena mereka rentan terhadap dingin
aku harap aku tidak terlihat kotor bagimu...
apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil?
aku selalu mengejar-ngejar kamu... karena kamu tidak ingin mandi
Aku harap kamu bisa bersabar denganku,
ketika aku selalu rewel
ini semua bagian dari menjadi tua,,
kamu akan mengerti ketika kamu tua

Dan jika kamu memiliki waktu luang,
aku harap kita bisa berbicara
bahkan untuk beberapa menit
aku selalu sendiri sepanjang waktu
dan tidak memiliki seorang pun untuk diajak bicara
aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaan
Bahkan jika kamu tidak tertarik dengan ceritaku
aku mohon berikan aku waktu untuk bersamamu
apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil?
aku selalu mendengarkan apapun yang kamu ceritakan tentang mainanmu

Ketika saatnya tiba...
dan aku hanya bisa terbaring, sakit dan sakit
aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku
MAAF.......
kalau aku sengaja mengompol atau membuat berantakan
aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku,
selama beberapa saat terakhir dalam hidupku
aku mungkin tidak akan bertahan lebih lama

Ketika waktu kematianku datang
aku harap kamu memegang tanganku
dan memberikanku kekuatan untuk menghadapi kematian
dan jangan khawatir, ketika aku bertemu dengan Sang Pencipta
aku akan berbisik pada-Nya
untuk selalu memberikan berkah padamu
karena kamu mencintai, ibu dan ayahmu...

Terima kasih atas segala perhatianmu, nak...
kami mencintaimu dengan kasih yang berlimpah


Ibu & Ayah


Ikuti selanjutnya :http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=brqzAaMmoq0#!

JAWAPAN HILAL ASYHRAF KEPADA TUN MAHATHIR MOHAMAD.


Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barokatuh.

Alhamdulillah, syukur ke hadrat Allah SWT, diizinkan saya mengarang warkah ini. Semoga Allah SWT memandu kita semua ke arah kebenaran, dan sentiasa meletakkan kita agar sentiasa lurus berada di atas jalanNya.

Ini adalah warkah jawapan saya kepada Tun Dr Mahathir yang menyuakan beberapa soalan kepada saya di dalam blognya pada link berikut: http://chedet.cc/blog/?p=718

Sukalah saya mendahulukan terima kasih saya, sebagai seorang rakyat biasa, kerana Tun Dr Mahathir sudi memberikan respon kepada nota saya. Yang nyatanya saya sangka, tidak sampai kepada Tun. Hal ini kerana ramai lagi orang lain memberikan respon kepada ucapan Tun berkenaan Hudud tersebut. Apa-apa hal pun, saya berbesar hati atas keterbukaan Tun ini, dengan izin Allah SWT.

Saya Muhammad Hilal Asyraf bin Abd Razak bin Kaprawi. Tahun ini berumur 23 tahun mengikut tahun masihi. Ya benar, saya taraf cucunda Tun, yang nyata usianya sudah menjengah 90 tahun dalam tahun hijrah. Saya merupakan pelajar tahun akhir di Universiy of Yarmouk, Jordan dalam pengkhususan Usuluddin. Jika tiada aral melintang, saya akan menamatkan pengajian saya di semester ini. Saya juga, mengasaskan website ini(LangitIlahi.Com), dan menulis beberapa buah buku.


Tun Dr Mahathir yang dikasihi kerana Allah,

Maafkan saya atas intro yang panjang. Kini saya pergi menjawab soalan-soalan yang dilontarkan oleh Tun di dalam blog Tun. Namun suka saya meminta maaf, jika saya tidak mampu menjawab seringkas yang dipinta. Tetapi saya berusaha keras untuk meringkaskan penulisan saya.

Soalan 1 – Punca ajaran agama Islam ialah Al-Quran, Hadith, fatwa, ajaran ulama’-ulama’ dan guru-guru agama. Diantara punca-punca ini yang mana satukah yang diutamakan?

Izinkan saya memperbaiki statement – “punca ajaran agama Islam ialah Al-Quran, Hadith, Fatwa, ajaran ulama’-ulama’ dan guru-guru agama.”

Sebenarnya, ‘punca’ ajaran agama Islam adalah Al-Quran dan Hadith sahaja. Selebihnya, seperti fatwa, ajaran ulama’ atau guru-guru, itu adalah perkara yang terbit dari kefahaman mereka terhadap Al-Quran dan Hadith.

Bila ditanyakan yang mana satukah yang patut diutamakan, maka saya jawab:

Al-Quran dan Hadith. Kedua-duanya diutamakan, pada taraf yang sama. Kerana kewujudan Hadith, yakni sunnah nabawiyah, adalah sebagai ‘penjelasan’ kepada ayat-ayat Al-Quran. Kerana itu Allah SWT berfirman:

“(Kami utuskan Rasul-rasul itu) membawa keterangan-keterangan yang jelas nyata (yang membuktikan kebenaran mereka) dan Kitab-kitab Suci (yang menjadi panduan); dan kami pula turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Al-Quran yang memberi peringatan, supaya engkau menerangkan kepada umat manusia akan apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya. (Setelah diterangkan yang demikian) maka adakah orang-orang yang merancang dan melakukan kejahatan-kejahatan itu merasa aman daripada ditimbuskan oleh Allah akan mereka ke dalam bumi, atau mereka didatangi azab dari arah yang mereka tidak menyedarinya?” Surah An-Nahl ayat 44-45.

Begitulah juga dinyatakan di dalam Surah An-Najm ayat 2-4. Surah Al-Hasyr ayat 7.

Dan berkenaan Al-Quran, nyata Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk ke jalan yang amat betul (ugama Islam), dan memberikan berita yang mengembirakan orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal-amal soleh, bahawa mereka beroleh pahala yang besar. Dan bahawa orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya.” Surah Al-isra’ ayat 9-10.

Juga wujud penegasan ini dalam banyak tempat yang lain di dalam Al-Quran, contohnya di dalam Surah Al-Baqarah ayat 1-2, An-Nisa’ ayat 174-175, Surah Al-Maidah ayat 15-16 dan lain-lain.


Tun Dr Mahathir yang saya harapkan berada dalam rahmat Allah,

Soalan 2 – Sekiranya terdapat perlanggaran atau percanggahan antara hadith, fatwa, pendapat ulama’ dan guru-guru agama dengan apa yang terdapat dalam Al-Quran, apakah kita harus tolak Al-Quran (terutama ayat-ayat yang jelas) dan terima hadith, fatwa dan lain-lain?

Berkenaan soalan ini, pertamanya izinkan saya jelaskan berkenaan percanggahan hadith dengan Al-Quran. Sesungguhnya Tun yang saya kasihi, apabila Allah SWT telah berfirman di dalam ayat-ayatNya di atas berkenaan Rasulullah SAW itu tindakannya adalah wahyu, maka tiadalah hadith yang sohih, bercanggahan dengan ayat-ayat Al-Quran.

Sekiranya kita menjumpai ta’arudh(perlanggaran, percanggahan) ini, di antara hadith sohih dengan ayat Al-Quran, maka hendaklah kita kaji semula apakah sebabnya. Dan biasanya, percanggahan itu bukanlah percanggahan. Tetapi antaranya disebabkan:

  1. Silap dalam periwayatan hadith
  2. Ayat Al-Quran itu sudah di’nasakh’(mansuh)kan hukumnya, tetapi tidak di’nasakh’(mansuh)kan bacaannya.
  3. Atau Rasulullah SAW melakukan/membenarkan/melarang perkara tersebut, sebelum ayat Al-Quran turun melarang/membenarkan.

Begitu.

Jadi bila ditanya kepada saya, mana yang patut diutamakan, maka saya akan jawab:

Al-Quran dan hadith. Bersama-sama.

Kalau berlaku pencanggahan antara Al-Quran dan hadith, maka nyatakan hadithnya, dan nyatakan ayat Al-Quran yang mana, kemudian kita periksa mengikut ilmu asbabul nuzul(sebab-sebab turunnya ayat Al-Quran), dan periwayatan hadith.


Tun Dr Mahathir yang dikasihi kerana Allah,

Soalan 3 – Ada pihak yang mendakwa bahawa Al-Bukhari telah mengkaji sebanyak 600,000 hadith tetapi menerima hanya 7000 sebagai sahih.

Benar. Dan perlu diketahui bahawa Imam Al-Bukhari(Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhariy) menamakan Kitab Sohih Bukhari itu dengan “Jami’ Musnad As-Sohih Al-Mukhtasar Min Umur Rasulillah SAW”. Al-Mukhtasar ini bermaksud “ringkasan”. Imam Al-Bukhari memasukkan sekitar 7,000 hadith ini ke dalam kitab tersebut kerana 7,000 hadith ini mencukupi pada pendapatnya, untuk manusia memahami bagaimana mahu berurusan dengan Islam sebagai cara hidup.

Dan Imam Al-Bukhari sendiri menyatakan: “Aku keluarkan untuk (isi)kitab ini daripada 600,000 hadith, dan aku jadikannya sebagai hujjah antara aku dan Allah SWT.”

Berkata Ibrahim ibn Mu’qol: “Aku mendengar Muhammad bin Ismail berkata: Tiadalah aku masukkan ke dalam kitabku As-Sohih ini melainkan yang sohih. Dan aku tinggalkan(tidak masukkan) banyak hadith sohih yang lain agar tidak menjadi panjang(kitab itu tidak menjadi terlalu tebal)”

Berkata Imam Al-Bukhari: “Tiadalah aku keluarkan(yakni meriwayatkan) di dalam kitab ini melainkan yang sohih, dan apa yang aku tinggalkan dari hadith sohih yang lain ada banyak.”

Kerana itu apabila Imam Al-Bukhari menamakan kitabnya “As-Sohih Al-Mukhtasar Min Umur Rasulillah SAW”, maka itu menjadi dalil bahawa dia berpendapat hadith-hadith tersebut sudah cukup bagi manusia mengamalkan dan memahami Islam yang sebenar. Tetapi tidaklah dia menutup peluang orang lain untuk meriwayatkan hadith sohih yang lain.

Ini saya dapati dari Kitab Al-Wadhih Fi Manahij Al-Muhaddithin karangan Dr Yaasir Asy-Syimaali.


Tun Dr Mahathir yang saya kasihi kerana Allah,

Soalan 4 - Apakah kesahihan hadith-hadith ini semuanya sama dengan sahih pengkaji hadith lain termasuk Muslim, Tarmizi dan lain-lain. Apakah kita harus tolak kajian-kajian lain dari Bukhari?

Kalau yang Tun maksudkan di sini adalah ‘sama taraf kesohihan’nya, maka itu bergantung kepada Al-Jarah Wa Ta’dil terhadap hadith tersebut. Menggunakan teknik Jarah Wa Ta’dil ini, maka periwayatan akan dikaji semula untuk melihat kesohihannya. Baik sohih dari segi sanad perawi, mahupun sohih dari segi matan(sebutan hadith) itu.

Tetapi kalau Tun mahu tanya fasal ‘Syarat Sohih Hadith’ yang dikenakan oleh perawi-perawi ini sebelum memasukkan ke dalam kitab mereka, maka telah diakui zaman berzaman bahawa syarat yang dikenakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah paling ketat sekali.

Imam Bukhari mengenakan syarat-syarat berikut:

  1. Memenuhi Syarat hadith Sohih yang disepakati Ulama’
  • Sanadnya bersambung.
  • Perawinya adil(soleh, bertaqwa, dipercayai)
  • Perawinya dobit(tidak nyanyuk, tidak lupa)
  • Tidak ada syaz(hadith yang diriwayatkan tidak bertentangan)
  • Tidak terdapat ‘illlah(yakni kecacatan/kesamaran yang menyebabkan hadith itu tidak diterima)

2. Subbut Al-Liqa’ (terbukti perawi itu telah bertemu dengan perawi sebelumnya)

3. Melihat tahap penguasaan murid di sisi syaikhnya(apakah murid yang bagus penguasaannya, atau tidak)

4. Hendaklah perawi itu masyhur sebagai yang tekun menuntut ilmu hadith.(maksudnya, perawi itu memang dikenali sebagai yang rajin menuntut hadith)

Manakala imam-imam yang lain, ada yang membenarkan hadith dho’if wujud di dalam kitabnya. Ini bukanlah hendak menyatakan Imam-imam tersebut kurang mulia atau kurang hebat daripada Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Tetapi hendak menyatakan, tujuan penulisan kitab mereka adalah berbeza. Dan perlu diketahui bahawa ulama’-ulama’ yang memasukkan hadith-hadith sedemikian, mereka memasukkannya dengan amanah. Yakni menyatakan para perawinya agar boleh diperiksa orang terkemudian selepas mereka.

Dan untuk isu mana yang lebih patut diambil sebagai rujukan, setakat ini sememangnya ulama’-ulama’ telah menjadikan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim sebagai rujukan utama. Biasa akan dikatakan – “Perawi ini melepasi syarat asy-syaikhain”. Itu bermakna, perawi itu melepasi syarat yang dikenakan Bukhari dan Muslim.

Namun untuk mengambil hadith-hadith daripada Imam lain, tiada masalah selagi mana ianya memenuhi syarat hadith sohih.

Perkara ini Tun, dibahaskan dengan amat-amat detail dalam ilmu Jarah Wa Ta’dil(kritikan dan pujian) terhadap hadith-hadith, di dalam Kitab Ar-Rijal(kitab yang menceritakan perihal perawi-perawi, sejarah mereka, kedudukan mereka dalam dunia periwayatan hadith) dan sebagainya.


Tun Dr Mahathir yang saya kasihi kerana Allah,

Soalan 5 – Apakah ingatan manusia lebih tepat dan kekal dari catitan, seperti wahyu dari Allah s.w.t. kepada Nabi Muhammad s.a.w. dicatit, kemudian dibukukan sebagai Al-Quran.

“Lebih tepat” itu pada saya sangat subjektif. Sebab, tidak semestinya apa yang dicatit itu betul. Dan tak semestinya juga yang diingati itu lebih tepat dari apa yang tercatat.

Sebab itu Tun, dalam isu pengumpulan, pembukuan Al-Quran dan Hadith, adalah amat-amat-amat ketat saringannya.

Bukan semata-mata dia hafal, dia sebut, maka terus dimasukkan ke dalam catitan. Terus dibukukan. Bahkan, jika kita menelaah kitab-kitab Manahij Al-Muhaddithin(Sistem Para Perawi Hadith), kita akan menjumpai perkara seperti jarah wa ta’dil yang menilai sanad dan matan hadith, kitab Ar-Rijal yang menilai perawi-perawi hadith, syarat hadith sohih, dan sebagainya, yang jelas menunjukkan ini semua disaring penuh ketat dan teliti.

Kalau Tun nak kata ingatan manusia boleh terganggu dengan ‘lupa’ dan sebagainya, saya akan kata, sebab itu wujud sistem Jarah Wa Ta’dil, Kitab Ar-Rijal, Syarat-syarat hadith sohih, dan sebagainya, untuk memastikan apa yang disampaikan itu terjaga.

Sebentar lagi saya akan nyatakan bahawa hadith juga dicatit. Ada juga yang dihafal. Sama seperti Al-Quran. Ada yang tercatat di pelepah kurma, batu dan sebagainya. Ada juga yang tidak ditulis, tetapi dihafal. Namun sistem pengumpulan yang amat ketat itulah yang menjaga dari apa yang tidak sohih itu terlepas.


Tun Dr Mahathir yang saya kasihi kerana Allah SWT,

Soalan 6 – Bukhari membuat kajian hadithnya 200 tahun selepas wafat Nabi. Apakah orang pertama yang melihat atau mendengar Nabi bersabda mencatat apa yang dilihat dan didengar dan catitan ini disimpan sehingga Bukhari mengkajinya? Atau apakah Bukhari bergantung kepada riwayat yang diperturunkan melalui beberapa generasi sehingga sampai kepada Al-Bukhari?

Sebenarnya Tun, hadith itu ditulis dari zaman Rasulullah SAW lagi. Bukan semata-mata hafalan dan ingatan. Di zaman Rasulullah SAW, antara yang dikhaskan oleh Rasulullah SAW untuk menjadi pencatit hadith baginda adalah: ‘Abdullah ibn ‘Amru Radhiallahu’anhuma.

Dinamakan penulisan Hadith ‘Abdullah ibn ‘Amru ini sebagai Sohifah As-Soodiqoh.

Antara lain yang wujud adalah Sohifah ‘Ali bin Abi Talib Radhiallahu’anhu.

Dan wujud di dalam Sohih Bukhari dalam Kitabul ‘Ilm bahawa Rasulullah SAW pernah menyuruh agar ditulis pesanan dan ajaran baginda kepada seorang yang berasal dari Yaman.

Dan amat masyhur kita mengetahui bahawa baginda mempunyai penulis surat, dan dihantar surat itu kepada raja-raja di zaman baginda. Ini dinyatakan di dalam Kitab Jaami’ Bayan Al-‘Ilm karangan Ibn Abdul Barr.

Jadi jelas di zaman Rasulullah SAW, hadith-hadith baginda ditulis. Tanpa dinafikan, ada juga yang dihafal.

Kita mendalami ilmu hadith ini dengan memahami bahawa Al-Quran adalah wahyu daripada Allah SWT makna dan lafaz. Manakala hadith adalah maknanya daripada Allah, sedang lafaznya adalah lafaz Rasulullah SAW. Maka, ada sahaja yang meriwayatkannya berdasarkan makna sahaja. Itu pun, semua ini melalui jarah wa ta’dil yang kita nyatakan tadi.

Di zaman Sohabah(para sahabat) pula, wujud tulisan Zaid ibn Thabit RA yang mengumpulkan hadith-hadith berkenaan Fara’idh. Khotib Al-Baghdadi(Abu Bakr Ahmad ibn `Ali ibn Thabit ibn Ahmad ibn Mahdi) juga pernah meriwayatkan daripada Basyir ibn Nuhaik bahawa Basyir berkata: “Aku menulis untuk Abu Hurairah setiap hadith yang aku pelajari daripadanya. Kala aku hendak berpisah dengannya, maka aku membacakan apa yang aku tulis. Kemudian aku nyatakan bahawa ini semua adalah hadith yang aku ambil daripadanya. Abu Hurairah menjawab: Ya.” Khotib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Taqyid Al-Ilm.

Terdapat juga sohifah Jabir ibn Abdullah. Dan para sahabat yang hidup jelas memperturunkan hadith-hadith yang didapati daripada Rasulullah SAW kepada masyarakat di mana mereka hidup.

Dan ini semua tidak mati di situ sahaja. Di Zaman Tabi’in, wujud juga penulisan Hadith, bahkan jadi lebih meluas lagi kerana telah terbukanya banyak wilayah di tangan Islam. Ketika zaman inilah, Khalifah Abdul Aziz ibn Marwan(meninggal pada tahun 85H) mula menyeru agar dikumpulkan hadith secara rasmi. Kemudian usaha ini juga diteruskan oleh Khalifan Umar bin Abdul Aziz di zamannya.

Perkara ini dijelaskan secara detail di dalam kitab-kitab Manahij Al-Muhaddithin. Ini bukanlah maklumat yang boleh kita biarkan begitu sahaja, atau memandangnya dengan sebelah mata semata-mata.

Kemudian, apabila ingin membicarakan perihal Imam Al-Bukhari, bagaimana dia menuntut hadith, dia nyata adalah seorang yang mengembara. 16 tahun dia keluar mengembara bertemu dengan perawi-perawi untuk mengumpulkan hadith-hadith, dalam rangka mengumpulkan yang sohih. Dia bukannya duduk diam di dalam perpustakaan semata-mata, atau menunggu seseorang datang kepadanya menyampaikan buatnya hadith.

Dan sekali lagi saya nyatakan, Imam Al-Bukhari bukannya sekadar dengar, dan terus catit masukkan ke dalam Kitabnya. Dia menyaringnya pula. Ada pula hadith-hadith yang lebih kurang sama, diletakkan sebagai bukti bahawa makna yang dibawa oleh hadith-hadith itu sohih, saling sokong menyokong satu sama lain.

Bahkan, untuk tambah meyakinkan lagi, Imam Al-Bukhari telah memanggil para ulama’ di zamannya untuk menilai Kitab Jami’ Musnad As-Sohih miliknya itu. Antara ulama’ yang menilai adalah ‘Ali ibn Al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya Ibn Mu’in dan lain-lain. Mereka memperkemaskannya lagi dan menjadi saksi bahawa apa yang dikumpulkan itu adalah sohih.

Dan bukanlah Imam Al-Bukhari itu terus mati selepas menyelesaikan kitabnya. Dia masih hidup. Didatangi para ulama’, dan keluar ke negeri demi negeri membawa kitabnya. Sekiranya wujud kesalahan dan kecacatan, semestinya kitabnya telah tertolak lebih awal kala kehidupannya.


Tun Dr Mahathir yang saya kasihi,

Soalan 7 – Tuhan menjadikan manusia berbeza dengan haiwan kerana manusia diberi akal fikiran. Apakah agama Islam melarang manusia dari mengguna akal dan berfikir?
Guru saya di dalam bidang Aqidah, bernama ‘Ala Hilat, pernah berkata bahawa Allah SWT menyediakan ayat musytabihat di dalam Al-Quran, sebagai tanda penghormatan Allah SWT kepada akal yang diciptakanNya buat manusia. Ayat musytabihat adalah ruang yang diberikan Allah SWT agar manusia berfikir, menjana pemikirannya sendiri.

Tetapi adalah perlu kita fahami bahawa, tiadalah pemikiran akan timbul sendiri tanpa bantuan. Dan tiadalah pemikiran akan menghala kepada arah yang betul sekiranya tidak mendapat panduan.

Kerana itu, Allah SWT menurunkan ayat-ayat Muhkamat. Yang qat’ie, jelas tidak boleh diubah dan diperbahaskan perlaksanaannya. Hal ini boleh dirujuk dalam Surah Ali Imran ayat 7.

Allah SWT juga beberapa kali menyebut ayat Al-Quran seperti:

“Apakah mereka tidak mendalami/memikirkan Al-Quran?” Surah Muhammad ayat 24. “Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir.” Surah Rum ayat 21.

Maka tidaklah Islam melarang kita menggunakan akal kita. Tetapi perlulah kita letakkan akal kita atas landasan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam kitabNya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW daripada hadith yang sohih yang sampai kepada kita.

Jika Islam melarang kita menggunakan akal, maka tiadalah ulama’-ulama’ terdahulu terfikir untuk mengumpulkan Al-Quran dan mengumpulkan hadith. Tiadalah cendekiawan Islam membuat penemuan-penemuan yang menghidupkan ketamadunan dunia.

Tetapi perlulah pada kebebasan berfikir itu, wujud limitnya. Kerana pemikiran manusia itu terbatas.

Sebagaimana limit yang diletakkan kepada kita, agar tidak membicarakan akan dzat Allah SWT.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya syaitan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu berkata: Siapakah yang telah menciptakan ini ? Siapakah yang telah menciptakan itu ? Hingga syaitan berkata kepadanya: Siapakah yang menciptakan Rabbmu? Jika sudah sampai demikian, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dengan mengucapkan isti’adzah dan berhenti.” Hadith Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Kerana jelas, makhluk jika mampu memikirkan bagaimana ‘bentuk’ Tuhannya, adalah satu kecacatan kepada Maha Besarnya Tuhan itu. Tidakkah Tun rasa demikian? Ini salah satu bentuk keterbatasan akal manusia. Tidak mampu menjengah kepada perkara-perkara ghaib. Maka Al-Quran dan hadith memandu. Islam benarkan kita terbang seperti layang-layang, tetapi mestilah bertali agar tidak jadi layang-layang yang lepas pergi begitu sahaja, Tun.

Maka begitulah saya melihat Islam mendidik kita berfikir, Tun.

Penutup: Inilah jawapan Saya, Tun Dr Mahathir, yang saya kasihi kerana Allah SWT.

Tun Dr Mahathir yang saya kasihi.

Pada hemat saya Tun, kalau saya diizinkan memberikan buah pandangan, saya kira lebih afdhol dari Tun memfokuskan soalan ini kepada saya, dan membukanya agar diperbincangkan ulama’ luar dan dalam negara. Saya cadangkan Tun menulis soalan-soalan ini di dalam bahasa Inggeris. Pastinya akan mendapat sambutan dan perhatian ulama’ international. Jika Tun mahu tahu, nama Tun masih disebut-sebut. Ada rakyat Jordan yang menyangka bahawa Tun masih Perdana Menteri kami.

Saya ini, ini sahajalah yang saya mampu beri. Mahu kata pakar, tidak sepakar mana. Saya pun tidak expect Tun akan tanya saya hal sebegini. Sedang ulama’-ulama’ yang lebih pakar, pastinya mungkin ada yang mampu memuaskan hati Tun.

Apa-apa hal pun Tun, inilah jawapan saya. Saya yakin, do’if dan kerdil, ditonton masyarakat Malaysia, kala berhadapan dengan Tun. Nyata, saya hanya cucunda Tun yang berumur 23 tahun, belum lagi menamatkan ijazahnya. Namun saya kekal dengan jawapan saya ini setakat ini. Saya percaya dengan ilmu yang saya perolehi ini, sebagaimana yang saya tulis.

Nota saya yang sebelum ini hanya berniat untuk menyatakan, bagaimana kelirunya masyarakat dengan kata-kata Tun tempoh hari. Saya, berdasarkan ilmu yang sedikit, yang ada pada saya ini, juga penjelasan saya tadi, jelas bahawasanya Hukum Hudud bukan satu ‘rekaan’ ulama’ Fiqah. Ianya memang datang daripada Al-Quran dan As-Sunnah. Bila Tun bicara berkenaan ‘hukum yang keras’ tiada di dalam Al-Quran, saya nyatakan adanya potong tangan di dalam Al-Quran. Berkenaan dengan rejam, wujud di dalam hadith sohih, namun kedudukan rejam ini saya menjumpai pelbagai pandangan. Sebat ada di dalam Al-Quran. Apa-apa hal pun, Tun kemudiannya bicara berkenaan bagaimana ruginya kita jika amal hudud, orang melayu Islam akan tak ada tangan dan sebagainya.

Tun minta tidak dicap sebagai anti-hadith, dan Tun jelas mengakui betapa hadith diperlukan untuk menjelaskan bagaimana untuk bersolat. Maka saya bawakan hadith sohih berkenaan potong tangan, yang jelas tiada diskriminasi. Hatta anak kepada Nabi pun, jika mencuri dan sampai hadnya, maka akan dikenakan hukumannya.

Dari Aisyah r.a., Orang Quraisy merasa tidak senang akan hukuman yang dijatuhkan kepada seorang perempuan suku Makhzum mencuri. Mereka berkata: “Siapakah yang boleh menyampaikan kepada Rasulullah s.a.w. supaya perempuan itu dibebaskan saja?” Kata mereka: “Siapakah yang berani selain Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah s.a.w.!” Usamah lalu menyampaikannya kepada beliau. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Mengapa engkau memberikan pertolongan untuk membebaskan seseorang dari had (hukum) Allah?” Kemudian beliau berdiri lalu berpidato, sebagai berikut: “Orang-orang yang sebelum kamu dibinasakan, kerana kalau orang yang terhormat (mulia) mencuri, mereka biarkan saja. Tetapi kalau yang mencuri itu orang lemah, mereka jatuhi hukuman. Demi Tuhan! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, saya potong juga tangannya!” Hadith Riwayat Bukhari.

Inilah penjelasan kepada ayat berkenaan potong tangan yang wujud di dalam Al-Quran pada ayat 38 Surah Al-Maidah. Saya sudah nyatakan di dalam nota saya, saya ‘tidak arif berkenaan bagaimana hudud itu perlu dilaksanakan.’ Tetapi saya amat pasti bahawa, hudud bukan semata-mata rekaan ulama’ fiqah.

Sekiranya orang menyatakan nota saya adalah satu bentuk salah faham kepada bicara Tun, maka semestinya Tun perlu memberikan penjelasan. Sebab apa yang saya nampak, kenyataan Tun tempoh hari mengundang salah faham yang nyata besar. Kerana nyata, Tun diikuti ramai orang. Suara saya, hanya pasir di tengah suara rakyat yang lain. Dan adalah menjadi kegembiraan saya, apabila Tun memberikan respon. Walaupun saya kira, respon Tun sepatutnya berbentuk umum, kerana ada lagi beberapa orang menulis kritikan yang sama, bahkan ada yang lebih keras, kepada Tun.

Jadi, setakat ini sahajalah daripada saya. Terima kasih kerana sudi menyantuni penulisan saya, membaca nota saya yang terdahulu. Sebarang kesilapan, saya minta maaf. Sebarang kecacatan bahasa dalam penulisan saya, mungkin ada yang dianggap kasar, maka saya minta maaf.

Di kesempatan ini, saya sampaikan salam dua sheikh saya, pakar ilmu hadith daripada Yarmouk, bernama Dr Mehmed Thowalbeh dan Dr Sa’id Bawa’anah. Mereka kata, jika Tun ingin bertanya lebih banyak, mereka sedia membantu. Mereka juga mencadangkan sebuah buku untuk ditelaah Tun, bertajuk: Manahij Al-Muhaddithin karangan Ali Qudhoh.

Jika Tun sudi, sampaikan salam saya kepada ‘nenda’ Tun Dr Siti Hasmah. Dan doakan agar saya selamat melayari bahtera perkahwinan, tarikhnya sekitar sebulan Ramadhan tahun ini.

Sekali lagi, terima kasih, dan minta maaf, daripada saya, Hilal Asyraf, ‘cucunda’ Tun yang masih banyak perlu belajar lagi, semestinya.

Semoga Allah redha, dan membuahkan dari penulisan ini manfaat. Bukan sahaja untuk kita berdua, tetapi juga buat masyarakat.

Sekian.

~ seorang hamba,

HilalAsyraf

http://langitilahi.com

http://www.facebook.com/pages/Hilal-AsyrafOfficial/245964752094643

Koleksi buku-buku saya: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.148097505256828.31728.116637538402825&type=3

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 KEMBARA SUFI |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.