Sejak berlakunya desakan penduduk Mesir supaya Hosni Mubarak mengundurkan diri dari takhta, ura-ura Pertubuhan Ikhwanul-Muslimin (Ikhwan) Mesir yang berpengaruh itu dipelawa untuk menyertai kerajaan baru Mesir selepas tergulingnya rejim diktator Hosni Mubarak bertiup kuat.
Ini dibayangkan oleh Ketua Pembangkang Mesir, Muhamad El-Baradei dalam temuramahnya dengan wartawan CNN, Fareed Zakaria beberapa hari lalu, di tengah-tengah pemberontakan rakyat Mesir yang menuntut rejim Hosni Mubarak meletakkan jawatan.
“Mereka (Ikhwanul Muslimin) adalah orang baik,” katanya, “mereka terpelajar, patriotik, berakhlak baik dan mereka adalah rakyat Mesir yang setia.”
El-Baradei yang kini dalam tahanan rumah ditanya pandangannya adakah Ikhwanul Muslimin itu sama seperti kumpulan militant Al-Qaeeda, kumpulan militant yang lain seperti di Iran dan di tempat lain. Beliau menjawab, “sama sekali tidak, mereka rakyat Mesir yang patriotik, terpelajar.”
Tokoh yang mendapat Hadiah Nobel Keamanan kerana peranannya sebagai Pengarah Agensi Kuasa Nuklear Bangsa-Bangsa Bersatu itu menyatakan kesediaannya untuk memimpin kerajaan baru Mesir jika rakyat mahukan khidmatnya walapun beliau kini ada tugas lain.
Untuk itu, pembaca sekalian diajak untuk mengenali jamaah ini secara lebih dekat....
Jamaah Ikhwanul Muslimin adalah salah satu jamaah dakwah terbesar yang hingga kini terus melakukan pelbagai kegiatannya. Para simpatisan, pendukung dan para kadernya tersebar di pelbagai wilayah di seluruh dunia. Mereka melakukan kegiatan dakwahnya dengan berpedoman kepada pelbagai arahan dan pemikiran yang dicetuskan oleh pemikir besar Ikhwan Al-Muslimin sekaligus pendirinya, Imam Syahid Hasan Al-Banna.
Meskipun jamaah ini lahir dalam kurun waktu yang cukup lama, semangat perjuangannya hidup dan terus berkembang. Ada nilai-nilai universal yang selalu diperjuangkannya, misalnya keterbukaan, keadilan, clean government, dan sebagainya. Lebih khusus lagi Ikhwan Al-Muslimin sejak semula menggaungkan perjuangan nilai-nilai dakwah Islam, yang menjadi penting untuk dikaji oleh masayarakat akademik dan pertubuhan dakwah.
Dalam prinsipnya, Ikhwan Al-Muslimin beranggapan bahawa Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh bidang dan sendi kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih. Dalam pernyataannya Imam Hasan Al-Banna menyebut istilah syamil (universal), kamil (sempurna) dan mutakamil (integral), untuk Islam dan nilai yang diperjuangkan.
Ikhwan Al-Muslimin berdiri pada bulan Zulkaedah 1347 H bertepatan pada bulan Mac 1928 M di Mesir, tepatnya di Kota Ismailiyah, dimana pada waktu itu merupakan camp pendudukan Inggeris. Pendirinya adalah Hasan Al-Banna, yang kelak bersama organisasi yang dibentuknya menjadi tokoh yang besar dan disegani. Gerakan Ikhwan Al-Muslimin dipandang sebagai pejuang Islam di desa-desa miskin dan pelopor tumbuhnya gerakan fundamentalisme Islam zaman moden di kawasan Afrika dan Timur Tengah.
Seruan gerakan Ikhwan Al-Muslimin adalah kembali kepada Islam sebagaimana yang temaktub dalam Al-Quran dan Sunah serta mengajak kepada penerapan syariat Islam dalam kehidupan nyata. Selain itu dalam gerakannya ia pun berusaha membendung arus sekularisme ke dunia Arab pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Jika dilihat dari latar belakang sosio-kulturnya, kelahiran Ikhwan Al-Muslimin tidak lepas dari sosio-kultur Mesir, juga realiti dunia Islam pada umumnya yang terpuruk pra dan pasca-perang Dunia I (1913) dan kejatuhan Khilafah Islamiyah (1924) serta penjajahan di dunia Islam oleh Eropah, ketidakstabilan politik, perpecahan bangsa, era kejumudan berfikir dan bermaharajalelanya taklid, khurafat serta ketahayulan. Hal-hal itulah yang melatarbelakangi Hasan Al-Banna untuk mendirikan gerakan tersebut.
Menurut Jihan L.Posito, pada awalnya gerakan Ikhwan Al-Muslimin bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Beberapa kegiatannya antara lain adalah pembinaan poliklinik, masjid, sekolah, kilang, membanteras buta huruf, penerbitan kitab agama, serta penerbitan akhbar harian dan majalah.
Lambat laun, gerakan Ikhwan Al-Muslimin mulai masuk ke dalam masalah-masalah politik. Dimulai dengan turut sertanya beberapa aktivis Ikhwan Al-Muslimin dalam perang Arab-Israel tahun 1948, setelah sebelumnya digembleng dengan latihan-latihan ketenteraan. Hingga pasca perang dunia II, Ikhwan Al-Muslimin dikenal sebagai organisasi politik yang militan dan aktif menentang pemerintahan sekular Mesir.
Perjalanan Ikhwan Al-Muslimin penuh dengan tribuasi-tribulasi. Hambatan dan tentangan khususnya dari Pemerintah Mesir, yang tidak boleh dipisahkan dari sejarah perjalanan Ikhwan Al-Muslimin. Tahun 1948 menjadi tahun yang penting dan genting dalam sejarah Ikhwan Al-Muslimin. Pada bulan November tahun tersebut, Perdana Menteri Fahmi Naqrasy membekukan Ikhwan Al-Muslimin, menyita aset-asetnya dan menangkap para tokohnya. Ikhwan Al-Muslimin menjadi organisasi yang diharamkan pada saat itu.
Pada bulan Disember 1948, terjadi peristiwa besar di Mesir. Perdana Menteri Fahmi Naqrasy diculik dan dibunuh. Orang-orang Ikhwan Al-Muslimin dituduh sebagai pelaku penculikan tersebut. Ketika mengusung jenazah Narqasy, para pendukungnya berteriak: “Kepala Narqasy harus dibayar dengan kepala Hasan Al-Banna”. Pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan Al-Banna terbunuh secara misteri.
Menurut beberapa keterangan, pembunuhan tersebut sangat terancang dan sistematik. Sehingga ramai yang berpendapat bahawa Hasan Al-Banna memang sengaja dibunuh oleh kalangan militer atas perintah Raja Faruk.
Sepeninggalan Hasan Al-Banna, pada tahun 1950, Hasan Hudaibi (1306-1393H/1891-1973 M) yang terkenal sebagai tokoh kehakiman Mesir, terpilih menjadi Mursyid ‘Am Ikhwan Al-Muslimin. Selanjutnya pada tahun tersebut berdasarkan keputusan Dewan Tertinggi Negara, Ikhwan Al-Muslimin direhabilitasi. Dewan tersebut juga memutuskan bahawa pembekuan Ikhwan Al-Muslimin selain tidak sah, juga bercanggah dengan perlembagaan. Ketika itu Mesir sedang diperintah oleh Kabinet Al-Nuhas.
Pada tahun 1952, terjadi revolusi di Mesir, atau lebih dikenali dengan dengan “Revolusi Julai” pimpinan Gamal Abdul Nasser yang mengakhiri kekuasaan Raja Faruk sekaligus mengakhiri sistem pemerintahan monarki. Sejak saat itu hingga sekarang, Ikhwan Al-Muslimin dan pemerintah Mesir terlibat konflik yang kian hari kian menajam. Ikhwan Al-Muslimin sering dituduh sebagai gerakan yang ingin menjatuhkan pemerintahan. Kemuncaknya, pada tahun 1954, Ikhwan Al-Muslimin dinyatakan sebagai organisasi haram oleh pemerintah Mesir, setelah sebelumnya Ikhwan Al-Muslimin dituduh melakukan usaha pembunuhan terhadap Presiden Gamal Abdul Nasser.
Selanjutnya pemerintah Nasser melakukan penangkapan besar-besaraan terhadap anggota Ikhwan Al-Muslimin dan ribuan aktivisnya dimasukkan ke penjara. Enam diantaranya dihukum mati, iaitu Abdul Qadir Audah, Muhammad Farghali, Yusuf Thal’at, Handawi Dhuair, Ibrahim Thayyib dan Muhammad Abdul Latif.
Usaha pemerintah Nasser untuk melumpuhkan Ikhwan Al-Muslimin ternyata tidak berhenti pada saat itu. Sepanjang tahun 1965-1966 Pemerintah kembali melakukan penangkapan. Tercatat ada tiga orang yang dihukum gantung, iaitu Yusuf Hawasi, Abdul Fatah Ismail dan Sayyid Qutb, seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimin terkemuka dan disebut-sebut sebagai pemikir Ikhwan Al-Muslimin nombor dua setelah Hasan Al-Banna.
Sejak saat itu, Ikhwan bergerak secara rahsia atau menjadi gerakan bawah tanah sehinggalah Gamal Abdul Nasser meninggal dunia pada 28 September 1970. Sepeninggalan Nasser, iaitu ketika pemerintahan Anwar Sadat berkuasa, aktivis Ikhwan Al-Muslimin yang dipenjarakan mulai dibebaskan secara bertahap. Namun demikian, kekritisan sikap mereka terhadap setiap bentuk penyelewengan pemerintah tetap tidak berubah. Diantara bentuk kekritisan itu adalah pada pasca perang Arab-Israel, melalui perjanjian Camp David (1979). Sejak saat itu, konfrontasi antara Ikhwan Al-Muslimin dan pemerintahan Anwar Sadat kembali tercetus. Kemuncaknya adalah saat Sadat terbunuh pada tanggal 6 Oktober 1981, pemerintah kembali menuduh Ikhwan Al-Muslimin berada di sebalik pembunuhan tersebut.
Umar Tilmisani (1894-1973) terpilih menjadi Mursyid ‘Am Ikhwan Al-Muslimin selepas Hasan Hudaibi (1891-1973). Pada masa kepemimpinannya pembesar Ikhwan Al-Muslimin menuntut hak-hak kelompok secara utuh dan pengembalian hak-hak jamaah yang dibekukan serta seluruh aset-aset yang disita pemerintahan pada masa Abdul Nasser.
Dalam kepemimpinannya, Ikhwan Al-Muslimin bergerak dengan strategi yang menjauhkan mereka dari konfrontasi atau pertembungan dengan pemerintah. Dalam banyak kesempatan ia sering mengulang-ulang seruanya ”Bergeraklah dengan bijak dan hindarkanlah kekerasan dan ekstrimisme.”
Begitu pula ketika Muhammad Hamid Abu Nasser terpilih menjadi Mursyid ‘Am Ikhwan Al-Muslimin setelah Umar Tilmisani. Beliau mewarisi apa yang dijalankan pendahulunya. Dalam kaedah dan strategi geraknya, beliau menempuh kaedah yang sudah dilalui Umar Tilmisani. Selepas Muhammad Hamid Abdul Nasser meninggal dunia, tampuk kepemimpinan Ikhwan Al-Muslimin dipegang oleh Mustafa Masyhur.
Selain tokoh-tokoh di atas, banyak tokoh Ikhwan Al-Muslimin yang muncul di luar Mesir, antara lain:
Syeikh Muhammad Mahmud As-Shawwaf. Beliau adalah pendiri dan pemimpin umum gerakan Ikhwan Al-Muslimin di Irak.
Dr. Mustafa Al-Siba’i (1915-1964). Beliau adalah pemimpin umum Ikhwan Al-Muslimin pertama di Syiria.
Rujukan :
1. http://www.harakahdaily.net/v2/
2. http://tarbiyahpewaris.blogspot.com/2010/05/kenali-ikhwan-muslimin.html
3. http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2011&dt=0203&pub=Utusan_Malaysia&sec=Luar_Negara&pg=lu_02.htm
0 ulasan:
Catat Ulasan