الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وبعد
Para guru dan pendidik yang dikasihi,
Alhamdulillah, Allah memilih kita berada dalam bidang pendidikan. Bidang yang begitu mulia di sisi ALlah berdasarkan Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW. Usaha yang kita jalankan adalah untuk membangunkan manusia dari segi intelek, jasmani, rohani, emosi, akal budi dan sikap mereka. Membangunkan manusia bermakna membangunkan diri para khalifah Allah. Tugas yang besar ini, sudah pasti menantinya adalah cabaran yang bukan sedikit. Oleh itu, marilah kita merenungi syarat-syarat berikut untuk menjadikan tugas kita sebagai ibadah kepada ALlah.
Pertama : Mengikhlaskan niat kerana Allah Taala dalam mendidik anak-anak didik dan saudara-saudara dari kalangan penuntut ilmu dan mendidik mereka sesuai dengan apa yang diredhai oleh Allah SWT. Kemudian sabar dan mengharapkan ganjaran atas amalan tersebut dari Allah SWT dan semata-mata mengharapkan pahala dari-Nya.
Berkata sebahagian ahli ilmu : “Ikhlas ialah jangan kamu mencari atas amalan engkau saksi selain Allah Taala, tidak juga pemberi ganjaran kepada selainNya. Dan inilah sebenarnya hakikat dari ad Din serta miftah (kunci) dakwah para Rasul `Alaihimus Sholaatu was Sallam”.
Allah SWT berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) Din yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah Din yang lurus.
(QS. Al Baiyyinah : 5)
Dan Allah Taala berfirman :
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ # قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ # لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhaku kepada jalan yang lurus, (iaitu) Din yang benar, Din Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik". Katakanlah: “Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
(QS. Al An`am : 161-163)
Keikhlashan merupakan syarat untuk diterimanya amalan. Sesungguhnya satu amalan tidak akan diterima oleh Allah Taala kecuali dengan dua syarat :
1. Hendaklah amalan tersebut zahirnya sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah Taala dalam kitab-Nya atau dijelaskan oleh Rasul-Nya SAW.
Al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam sahih mereka berdua, hadis dari Aisyah radhiallahu `anha, bahwa Nabi SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barang siapa yang mengada-ada (mengadakan satu bid`ah) dalam perintah Kami ini yang bukan daripada kami, maka dia tertolak”.[1]
2. Hendaklah amalan tersebut ikhlas semata-mata mencari keredhaan ALlah.
Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan satu hadis dari Umar bin al Khattab radhiallahu `anhu bahwa Nabi SAW bersabda :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya seluruh amalan tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap manusia mendapatkan apa yang dia niatkan”.[2]
Berkata
al Fudhail bin `Iyaadh : “Amalan yang paling baik ialah amalan yang paling ikhlas dan paling benar”, kemudian beliau meneruskan katanya : “Sesungguhnya satu amalan apabila ikhlas dilakukan tapi tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi SAW), tidak akan diterima oleh Allah SWT, dan apabila benar tetapi tidak ikhlas tidak juga diterima, sampai amalan itu betul-betul ikhlas dan benar, al kholish (ikhlas) semata-mata kerana Allah, dan ash-showab (benar) betul-betul sesuai di atas as Sunnah”.[3]
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang ikhlas, di mana seorang hamba mengamalkan satu amalan yang solih, kemudian dia tidak peduli dengan penglihatan dan pujian manusia atasnya, bahkan kalau amalan solih tersebut dinisbahkan kepada selain dirinya akan membuat dia gembira. Demikian itu disebabkan ilmunya dan bahwasanya dia dipelihara disisi Allah Taala.
Dan dikatakan kepada
Sahl at Tustari : “Apa sesuatu yang sangat berat atas jiwa? Kata beliau : “al Ikhlas, kerana tidak ada bagi jiwa tersebut bahagian - ertinya dari bentuk keduniaan - .”
Kedua : Bertakwa kepada Allah Taala, dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, baik ketika nampak maupun tidak nampak (muraqabah). Sesungguhnya takwa kepada Allah SWT merupakan wasiat untuk orang-orang terdahulu dan sekarang.
Allah Taala berfirman:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah) , sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.
(QS. An Nisaa` : 131)
Adalah Nabi SAW dalam kebanyakan wasiatnya untuk para shahabat adalah ketakwaan kepada Allah Taala. Dalam hadis al `Irbaadh ibnu Saariyah bahwa Nabi SAW bersabda :
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة
“Saya wasiatkan pada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan mentaati para pemimpin”.[4]
Berkata
Imam Tholq bin Habiib rahimahullahu Taala : “Yang dikatakan
takwa ialah kamu beramal untuk mentaati Allah di bawah bimbingan cahaya dari Allah, dan kamu mengharapkan ganjaran dari Allah, lalu kamu meninggalkan maksiat kepada Allah dan takut akan azabNya Jalla Sya`nuhu”.[5]
Berhati-hatilah dari seluruh maksiat besar atau kecil, sesungguhnya Allah Taala telah menjanjikan barang siapa yang menjauhi dosa-dosa besar akan menghapus dosa-dosa kecilnya, dan akan memasukkannya ke dalam jannah-Nya. Allah Tabaaraka wa Taala berfirman :
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, nescaya Kami hapus kesalahan-kesalahan mu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (syurga).
(QS. An Nisaa` : 31)
Ertinya, banyaknya kebajikan dan keberkatan adalah dengan berhati-hati dari dosa-dosa kecil.
Al-Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dalam sahihnya, hadis dari Anas bin Malik radhiallahu anhu , beliau berkata :
إنكم لتعملون أعمالا هي أدق في أعينكم من الشعر، إن كنا لنعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من الموبقات
“Sesungguhnya kalian telah mengamalkan amalan-amalan yang di mata kalian lebih halus dari rambut, sesungguhnya kami mengkategorikan di zaman Rasulullahi SAW sebagai al-muubiqaat (yang membinasakan)”.[6]
Berkata
Abu `Abdillah, yang dimaksudkan ini ialah al Muhlikaat (yang membinasakan) .
Berkata
Imam al Auza`i : “Jangan kamu melihat kepada kecilnya maksiat, akan tetapi lihatlah kepada besarnya siapa yang kamu derhakai”.
Ketiga : Qudwah (teladan) yang baik.
Sudah menjadi hal yang dimaklumi bahwa seorang pelajar akan terpengaruh dengan gurunya, dia akan senang untuk mengikut gurunya dan berqudwah dengannya. Maka diwajibkan atas para pendidik dan guru jangan sampai perkataannya menyalahi perbuatannya. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ # كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(QS. As shof : 2-3)
Dan Allah SWT berfirman tentang Nabi-Nya Syuaib AS :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana fikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahiNya aku daripadaNya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintahNya) ? dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) pengislahan selama aku masih berkesanggupan, dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya lah aku kembali.
(QS. Hud : 88)
Berkata penyair :
لا تنه عن خلق وتأتي مثله عار عليك إذا فعلت عظيم
Jangan kamu melarang dari akhlaq yang buruk lalu kamu mendatangi semisalnya, aib yang besar atas engkau bila kamu mengerjakannya.
Keempat : Akhlak yang baik.
Allah Taala berfirman :
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
(QS. Al Israa` : 53)
Allah Taala firman :
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fusshilat : 34)
Al Imam Tirmizi telah meriwayatkan dalam sunannya, hadis dari Abu Darda' bahwa Nabi SAW bersabda :
ما شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم القيامة من خلق حسن وإن الله ليبغض الفاحش البذيء
“Tidak ada sedikitpun yang lebih berat ditimbangan seorang mukmin pada hari kiamat nanti dari akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata keji dan buruk”.[7]
Akhlak yang baik mencakupi bidang-bidang yang sangat banyak dalam kehidupan seorang muslim samada dalam ucapan dan amalannya, dalam ibadah kepada Tuhannya dan muamalahnya kepada sesama hamba Allah.
Abdullah bin al Mubarak berkata : “Akhlak yang baik ialah wajah yang berseri, menyebarkan kebajikan, menahan gangguan, dan hendaklah kamu memberikan uzur kepada manusia”.
Para guru dan pendidik juga hendaklah berakhlak yang baik dengan sesama rakan guru, dengan para muridnya, bahkan dengan ibubapa dan penjaga muridnya, dan hendaklah berlemah lembut dalam bermuamalah dengan mereka.
Imam Muslim telah meriwayatkan satu hadis dalam sahihnya dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Nabi SAW bersabda :
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Tidak terdapat kelembutan pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak dicabut kelembutan dari sesuatu kecuali merosaknya”.[8]
Dan sesungguhnya Nabi SAW adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Maka barangsiapa yang ingin sampai kepada akhlak yang mulia, hendaklah dia beruswah dengan Muhammad SAW. Diriwayatkan dalam sunan Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, beliau bersabda :
خدمت النبي عشر سنين، فما قال لي أف قط، وما قال لشيء صنعته: لم صنعته؟ولا لشيء تركته: لم تركته؟
“Saya menjadi pembantu Nabi SAW selama sepuluh tahun, sama sekali beliau tidak pernah berkata uff (menggerutu) pada saya, dan tidak pernah berkata terhadap sesuatu yang saya perbuat : “kenapa kamu kerjakan itu?”, dan juga terhadap sesuatu yang saya tinggalkan: “kenapa kamu tinggalkan itu?”.[9]
Kelima : Hendaklah seorang guru bersemangat dalam mendidik anak didiknya dengan tarbiah solehah.
Para guru dan pendidik seharusnya mengajarkan pada murid-muridnya tentang perkara-perkara Islam dan Iman, lalu ditanamkan dalam diri pelajar rasa kecintaan pada Allah dan pengagunganNya di hati-hati mereka. Demikian juga kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian dia jelaskan pada mereka wajibnya mengikuti sunnah Rasulullah, beramal dengan Sunnahnya alaihis Sholaatu was Salaam, berqudwah dengan Nabi SAW, lalu diajarkan pada mereka adab-adab yang baik, dan akhlak yang mulia, seperti adab-adab masjid, majlis, menghormati guru dan orang yang lebih tua, juga adab dengan teman dan sahabat, dan biasakan kepada mereka bertutur kata yang baik, dan peringatkan mereka dari perkataan yang buruk, dan selain dari yang demikian dari adab-adab yang indah serta sifat-sifat yang mulia.
Tugas ini tidak harus dibebankan kepada yang bergelar ustaz dan ustazah sahaja, tetapi tugas semua yang bergelar guru dan pendidik kerana guru itu dikenali sebagai mualim,mudaris, muaddib dan murabbi. Istilah-istilah ini menggambarkan mulia dan luas bidang tugas seorang guru.
" SELAMAT HARI GURU 2010"
Rujukan :
[1] Al Bukhari (2697), Muslim (1718).
[2] Al Bukhari (1), Muslim (1718).
[3] “Madaarijus Saalikin”, (2/93), oleh al Imam Ibnu Qaiyyim al Jauziyyah.
[4] “Sunan Abu Daud” (4607).
[5] “Siyaru A`laamin Nubalaa`” (4/601), dan berkata al Imam Ibnu Qaiyim al Jauziyyah dalam “ar Risaalah at Tabuukiah”, halaman 26, “Ini merupakan definisi yang paling baik dikatakan tentang Taqwa”. Dan al Imam Az Zahabi juga berkata di dalam “as Siyaru”, (4/601) :
[6] Al Bukhari (6492).
[7] At Tirmizi (2002), dan berkata dia : hadis hasan sahih.
[8] Muslim (2593).
[9] At Tirmizi (2015) asal hadis ini disahihkan oleh Bukhari dan Muslim.